Kitan Undang-Undang Hukum Pidana yang baru (sebut saja KUHP-RI), yang disahkan DPR tanggal 6 Desember 2022 yang lalu, melahirkan kontroversi di masyarakat Indonesia. Kabarnya juga menarik perhatian masyarakat dunia, sampai-sampai ada yang mengaitkan dengan pengaruh negatifnya terhadap iklim investasi di Indonesia.
Dalam KUHP-RI ini jenis delik diperluas. Yang selama ini merupakan ranah hukum adat, atau privasi yang bertentangan dengan karakter bangsa (seperti kumpul kebo), diangkat menjadi pidana. Di sinilah KUHP-RI diklaim lebih mencerminkan kepribadian Indonesia. KUP-RI juga menghidupkan kembali pasal ujaran kebencian (hatzaai artikelen), yang dulunya sudah pernah dihapus dari KUHP lama.
Hukuman pidana tentu identik dengan penjara. Dengan berlakunya KUHP-RI, makin mudahlah orang masuk penjara. Bisa dibayangkan, penjara, yang sebelumnya sudah ramai, akan semakin penuh sesak. Mau tidak mau negara harus menyediakan alokasi dana negara yang lebih besar untuk urusan pemidanaan ini. Penjara harus diperbanyak atau diperluas. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) harus ditambah untuk memproses. Akibatnya, uang negara makin tersedot. Padahal, dengan mengelola penjara yang ada sekarang Pemerintah sudah merasa kewalahan. Kondisinya belum 100% ideal. Masih ingat peristiwa kebakaran Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tangerang beberapa waktu lalu, yang menyebabkan 42 narapidana tewas, kebakaran di penjara Banceuy Bandung, kejahatan-kejahatan baru yang justru lahirnya di penjara (seperti peredaran narkoba, perkelahian sesama narapidana, pemalakan terhadap narapidana, dan lain sebagainya).
Berlakunya KUHP-RI kontradiktif dengan pernyataan atau wacana yang dilontarkan Menkopolhukkam, Dr. Mahfud M.D. dan Menkumham Yasonna Laoly tahun lalu, tentang perlunya pengurangan orang-orang yang “layak” masuk penjara.. Beberapa solusi seperti pecandu narkoba cukup menjalani rehabilitasi, tidak perlu dipendam di balik jeruji besi. Pencurian-pencurian kecil sebaiknya diselesaikan dengan cara musyawarah, tanpa melalui proses hukum sehingga pelakunya tidak perlu direndam di hotel prodeo (restorative justice).
Selama ini pemerintah memilih jalur “remisi” untuk mengurangi beban “overload” penjara, yang berujung kontroversi karena remisi juga dinikmati oleh narapidana korupsi kakap.
Penjara, diperhalus dengan istilah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), tidak hanya difungsikan sebagai “tempat hukuman”, tapi lebih difungsikan sebagai “tempat pembinaan” orang-orang yang melakukan tindak pidana. Berharap orang yang bersalah bisa bertaubat, lalu kembali ke masyarakat sebagai orang baik. Di lapas narapidana diperlakukan sebagai “santri”, dibina akhlaknya, diajarkan agama, disediakan makan dan penginapan gratis, walaupun tidak berstandar hotel. Narapidana disehatkan dengan berolah raga, diberikan pencerahan rohani melalui shalat berjemaah, pengajian. Narapidana dipersiapkan untuk bisa hidup setelah keluar dari lapas dengan diajarkan berbagai keterampilan.
Beranjak dari pemikiran “memanusiakan” narapidana di lapas, lalu timbul wacana agar narapidana tidak hanya dipenuhi kebutuhan jasmani dan rohani saja, tapi juga kebutuhan biologisnya, sehingga muncul istilah “bilik asmara”. Lama-lama terkesan hidup di lapas terasa enak. Akibatnya, orang tidak takut lagi masuk penjara. Malahan ada yang “kecanduan” dengan menjadi residivis. Lama-lama, korban, yang awalnya harus dilindungi oleh hukum pidana, jadi terlupakan.
Di sinilah terjadinya “lingkaran setan” (vicious circle). Perluasan kategori tindak pidana membuat penjara makin ramai, negara harus menanggung biaya, karena negara kewalahan maka penghuni penjara dikurangi dengan remisi, akibatnya orang makin tidak takut dipenjara.
Hukum Berdasarkan Atas Ketuhanan Yang Maha Esa
Idealnya KUHP-RI bukan digali dari kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi harus digali dari hukum Tuhan Yang Maha Esa. Pertimbangannya, karena negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29 ayat 1 UUD 1945). Indonesia mengakui kemerdekaannya diperoleh atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa (aline ke-3 Pembukaan UUD 1945). Indonesia dalam upaya mencapai tujuannya berdasarkan rumusan Pancasila, yang sila pertamanya Ketuhanan Yang Mahas Esa (Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945). Di setiap keputusan hakim, baik tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi selalu dimulai dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jadi wajarlah jika hukum pidana di Indonesia harus lebih mengutamakan sumber hukum Tuhan Yang Maha Esa.
Sebelum diberlakukannya KUHP-RI, Indonesia memakai KUHP peninggalan Belanda, yang disahkan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918, setelah kemerdekaan diberlakukan berdasarkan Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung diberlakukan selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”, kemudian Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo ditegaskan Kembali dengan UU No. 73 Tahun 1958 (Wikipedia).
Kalau merunut sejarah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini, berasal dari Belanda (Wetboek van Straftrecht — WS). WS bersumber dari Perancis (Code Penal). Sedangkan Code Penal bersumber dari hukum Romawi yang bersumber dari ajaran Kristen.
Idealnya, hukum pidana di Indonesia haruslah mempertimbangkan aspek-aspek sebagai berikut:
Pertama, aspek transedental, bahwa setiap tindak pidana yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Pembalasan yang diberikan oleh negara terhadap pelaku tindak pidana, adalah mencerminkan negara sebagai wakil Tuhan, dengan bunyi kalimat pembuka keputusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
Kedua, aspek pembalasan yang setimpal dengan yang dialami korban. Korban atau keluarga korban sering merasa diperlakukan tidak adil karena pembalasan oleh negara terhadap pelaku tindak pidana tidak sepadan dengan penderitaan yang dialami korban. Oleh karena itu negara harus mewakili korban untuk membalas kepada si pelaku tindak pidana, agar tidak terjadi persekusi atau main hakim sendiri oleh korban, keluarga korban atau masyarakat;
Ketiga, aspek membuat jera si pelaku. Dengan hukuman yang setimpal, pelaku akan berpikir beribu kali untuk mengulangi perbuatannya;
Keempat, aspek pencegahan orang lain melakukan tindak pidana. Dengan melihat tegas dan kerasnya hukuman terhadap si pelaku, membuat orang lain merasa sangat takut untuk melakukan tindak pidana;
Kelima, aspek efektif dan efisiensi. Dalam upaya penegakan hukum, negara harus menerapkan prinsip efektif dan efisien. Negara perlu berhemat dengan meminimalisasi penyediaan tenaga penegak hukum dan sarana Lapas.
Nampaknya KUHP lama belum mampu memenuhi kelima unsur tersebut (Penulis yakin, KUHP-RI akan setali tiga uang dengan KUHP lama). Hal ini dapat dilihat dari:
Ketidaktakutan pelaku tindak pidana dengan ancaman Tuhan. Manusia lebih takut kepada aparat penegak hukum ketimbang Tuhan
Sering terjadi persekusi atau main hakim sendiri oleh korban, keluarga korban atau masyarakat ketimbang penyelesaian melalui hukum, karena rendahnya kepercayaan terhadap hukum dan terhadap aparat penegak hukum;
Belum mampu membuat jera si pelaku, terbukti dengan masih banyaknya residivis.
Orang lain tidak takut melakukan tindak pidana. Banyak pelaku tindak pidana yang baru pertama kali melakukannya, bahkan dengan tingkat kejahatan yang lebih sadis. Berita-berita penghukuman seorang pelaku tindak pidana yang lalu lalang di media sosial tidak menimbulkan rasa takut bagi orang lain untuk melakukan tindak pidana;
Negara mengeluarkan biaya yang terus bertambah setiap tahun untuk “menangani” para pelaku tindak pidana.
Oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk mengadopsi hukum pidana Islam, karena: 1) sebagai bentuk penghargaan kepada agama 83% penduduk Indonesia, 2) diyakini mampu memenuhi kelima unsur di atas, dan 3) mampu memutus lingkaran setan (vicious circle).
Benchmark Kepada Negara Yang Menerapkan Hukum Pidana Islam
Prof. Dr. Nazaruddin Umar, imam besar Mesjid Istiqlal, dalam ceramah di sebuah televisi beberapa waktu lalu, menceritakan bagaimana suksesnya negara Arab Saudi menekan tingkat kejahatan dengan penerapan pidana Islam. Dalam 4 tahun “hanya” terjadi 4 kasus pidana. Hampir tidak terdengar adanya residivis, karena pelaku benar-benar kapok. Di Arab Saudi nyaris tidak ada Lapas, kecuali hanya rumah tahanan tempat tersangka/terdakwa menjalani proses Hukum Acara Pidana sampai adanya keputusan Pengadilan yang berkekuatan tetap. Setelah lahirnya keputusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka eksekusinya dijalankan sesuai dengan syariat Islam, seperti qishash (contoh: pembunuh dihukum dibunuh), jinayat (contoh: pencuri dihukum potong tangan, pezinah dihukum rajam). Dengan tidak adanya Lapas, maka terjadi penghematan keuangan negara.
Apakah Berarti Indonesia Menjadi Negara Islam dan Anti Pancasila?
Kekhawatiran terbesar apabila hukum pidana Indonesia mengadopsi hukum pidana Islam, adalah Indonesia menjurus menjadi negara Islam. Islam yang sudah telanjur dicap sebagai agama teroris, eksklusif, intoleran, tentu akan berisiko besar bagi Pemerintah untuk menerapkan hukum pidana Islam ini.
K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sewaktu menjabat presiden, pernah menyampaikan bahwa wacana ini bukanlah menerapkan hukum Islam, tetapi Menyusun system hukum pidana Indonesia yang mengadopsi hukum-hukum Islam. Gus Dur tidak mengada-ada, karena selama ini sudah ada Undang-Undang zakat, Undang-Undang perkawinan, hukum waris dan hukum perbankan Islam yang sudah ada selama ini dan dapat diterima oleh masyarakat Indonesia, yang 83% beragama Islam.
Contoh Brunei Darussalam, tetap tidak mendeklarasikan negaranya sebagai Negara Islam, walaupun mengadopsi hukum pidana Islam dalam hukum pidana negara itu.
Problem Hak Asasi Manusia (HAM)
Dunia internasional cenderung mempersepsikan hukum pidana Islam sebagai hukuman yang tidak manusiawi, sangat keras, bertentangan dengan hak asasi manusia. Hukuman yang bersifat pembalasan dendam, tidak memberi kesempatan kepada pelaku untuk bertaubat memperbaiki diri. Apalagi kalau ternyata di kemudian hari terjadi kesalahan terhadap orang yang dituduh ternyata bukan dia pelaku yang sesungguhnya (error in persona), tidak bisa lagi dilakukan koreksi. Misal seseorang yang ditetapkan bersalah telah membunuh, lalu dijatuhi hukuman mati, ternyata kemudian ada bukti baru bahwa bukan dialah pelakunya, maka tidak mungkin lagi dikoreksi dengan menghidupkan kembali orang tersebut. Pencuri yang terlanjur dipotong tangannya, kemudian terbukti tidak bersalah, tidak bisa lagi dikoreksi dengan mengembalikan tangannya.
Perdebatan ini menjadi lingkaran tak berujung. Kalau masalah hak asasi, sebenarnya terletak pada perbedaan titik pandang. Kalau dunia internasional lebih menitikberatkan hak asasi terhadap pelaku, maka hukum pidana Islam lebih menitikberatkan hak asasi terhadap korban. O.C. Kaligis, pada sebuah wawancara televisi yang mengomentari tindakan represif aparat terhadap demonstran yang sebelumnya menabrakkan mobilnya ke aparat. Di saat orang-orang membela si pendemo dengan mengatakan tindakan aparat tidak menghargai hak asasi si pendemo, O.C. Kaligis berujar bahwa hak asasi aparat yang menjadi korban tabrakan juga harus diperhatikan.
Pembalasan yang setimpal terhadap pelaku tindak pidana diperintahkan oleh Tuhan, selaku pegang hak hidup dan matinya seseorang. Ilmu manusia tentu tidak bisa menjangkau, apalagi menyanggah ilmu Tuhan. Tuhan mengisyaratkan dalam firman-Nya, bahwa membunuh seorang manusia dengan sengaja, berarti telah membunuh semua maunia di muka bumi. Oleh karena itu si pembunuh haruslah dibunuh. Metode ini untuk mencegah si pelaku mengulangi perbuatannya.
Titik berat kedua, hukum pidana Islam lebih pada pencegahan orang lain untuk melakukan tindak pidana. Hukuman pancung terhadap pembunuh dilakukan di tempat terbuka, dan diumumkan seluas-luasnya agar orang-orang menyaksikan eksekusi. Timbul kengerian bagi orang yang meihat, sehingga menjadi peringatan agar jangan coba-coba melakukan perbuatan serupa. Cara ini ternyata efektif, terbukti di Arab Saudi “hanya” ada 4 kasus pembunuhan selama 4 tahun. Bandingkan dengan Indoensia, yang rata-rata setiap 1 jam terjadi satu kasus serupa.
Orang jadi takut mencuri, karena pelaku pencurian yang telah dipotong tangannya dibiarkan kembali ke masyarakat, sehingga masyarakat punya contoh dan takut untuk menirunya.
Kalau tujuan untuk bertaubat, hukum pidana Islam juga menerapkannya. Langkah pertama, dibuka jalan “damai” dengan korban atau keluarga korban. Biasanya si pelaku harus membayar uang tebusan (diyat) yang besarnya disetujui oleh korban atau keluarga korban. Jumlahnya juga “tidak main-main”. Apabila tidak tercapai perdamaian, lalu si pelaku diekseskusi, sebelum dieksekusi si pelaku diberi kesempatan untuk meminta maaf kepada keluarga korban dan bertaubat.
Pemberlakuan Bertahap
Karena lebih ditujukan untuk pencegahan dan perlindungan kepada masyarakat, maka adopsi hukum pidana Islam pada hukum pidana Indonesia dapat dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah terhadap tindak pidana yang menimbulkan korban atau kerugian pada orang lain, seperti pembunuhan (dengan berbagai macam jenis dan tingkatan) dan pencurian (dengan berbagai macam jenis dan tingkatan, termasuk korupsi). Untuk kasus kesusilaan, seperti perzinahan (kumpul kebo), karena tidak menimbulkan korban atau kerugian pada orang lain, untuk sementara dapat ditolerir dengan hukuman selain rajam.
Bagaimana dengan fitnah, ujaran kebencian, penghinaan, kebohongan, yang dalam hukum pidana Islam tidak ditegaskan sanksi fisiknya, melainkan sebatas sanksi sosial dan sanksi akhirat? Penulis berpendapat dikembalikan kepada kebijakan Pemerintah, dan masih bisa digali dari kebiasaan dan budaya luhur bangsa Indonesia.
Bagaimana Hukum Acara Pidana-nya?
Pernah dalam sebuah diskusi terbatas, seorang Dekan Fakultas Hukum sebuah Universitas Negeri di Sumatera menyampaikan bahwa kesulitan dalam penerapan hukum Islam di Indonesia terletak pada hukum formal (acara pidananya). Hukum Acara beertujuan untuk memastikan bahwa seseorang benar-benar telah terbukti secara sah melakukan suatu tindak pidana dan memberikan sanksi yang paling tepat sebagai ganjaran atas perbuatannya.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku sekarang, menurut hemat Penulis, masih compatible untuk diterapkan. Sepanjang aparat penyelidik, penyidik, jaksa dan hakim adalah orang-orang yang berintegritas tinggi, sangat mungkin dihindari error in persona, rekayasa hukum atau kriminalisasi terhadap seseorang. Diyakini kasus Sengkon dan Karta tidak akan terulang.
Pengaruh Psikologi dan Sosial Masyarakat Indonesia
Episode yang paling penting adalah menyiapkan kondisi psikologis dan dampak sosial di masyarakat. Masyarakat Indonesia sudah merasa ‘nyaman” dengan KUHP yang lama. Apalagi dengan KUHP-RI, yang lebih memberikan “keringanan” terhadap narapidana yang sudah dijatuhi hukuman mati sekalipun. Bagi kebiasaan masyarakat yang “mudah berbuat salah”, adanya ancaman hukuman berat tentu menjadi momok yang sangat menakutkan. Pengalaman pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, resistensi masyarakat begitu tinggi, sehingga demo di mana-mana, karena masyarakat sudah terbiasa melanggar peraturan lalu lintas. Sama juga dengan penolakan KUHP-RI, karena masyarakat memang menganggap suatu kegiatan yang tercantum bukan merupakan kejahatan, dan sangat berpeluang melakukannya.
Sama halnya dengan pemberlakuan Undang-Undang Lalu Lintas dan KUHP-RI yang memberi tenggat waktu beberapa tahun setelah disahkan, maka ketentuan pidana yang mengadopsi hukum Islam juga perlu diberikan tenggat waktu (misalnya 5 tahun) untuk sosialisasi dan menyiapkan dampak psikologis dan sosial masyarakat. Perlu keyakinan bersama, bahwa dengan mengadopsi hukum Tuhan ini sebagai manifestasi dari Indonesia sebagai Negara Berketuhanan, yang berujung kepada negara rahmatan lil ‘alamin dalam keridhaan Tuhan. Dampak langsung yang akan diperoleh adalah minimalisasi tingkat pelanggaran tindak pidana, khususnya yang menimbulkan korban atau kerugian pada pihak lain, dan penghematan keuangan negara dari membiayai penjara.